Siti Soendari: Perempuan Berpena Tajam, Cerdas dan Berani


“Apa faedahnya menyekolahkan gadis-gadis? Biar diajar terbang ke langit sekalipun, kalau tidak pandai memasak nasi dan sayur, maka suaminya tidak akan menyenanginya.”
Dengan kesal Soendari menanggapi, “Ah, ah, kalau memang demikian watak laki-laki, maka lebih baik dia kawini saja tukang masak Gubernur Jendral, pastilah setiap hari dia akan makan enak.”
Ya, Salam Setara para pendengar Marsinah 106 FM. Itu tadi  sedikit kutipan tentang Siti Soendari yang akan kita bahas malam ini. Tentu saja  dalam PEREMPUAN PELITA  yang Kembali hadir untuk anda, persembahan Radio Buruh Perempuan, MARSINAH 106 FM, dari perempuan buruh untuk kesejahteraan dan kesetaraan.
PEREMPUAN PELITA adalah kisah para perempuan pejuang di masa lalu hingga masa kini. Dipersembahkan MARSINAH FM untuk menjadi inspirasi bagi siapapun, dari setiap kisah perempuan yang membawa terang atau pelita bagi kehidupan di dunia.
Pada edisi ke-7, PEREMPUAN PELITA menghadirkan sosok perempuan penulis, cerdas, lagi berani di masa penjajahan Belanda di Indonesia. Perempuan ini seringkali berurusan dengan kepolisian rahasia Belanda karena tulisan-tulisannya. Tokoh kita ini adalah perempuan biasa yang rela menyisihkan waktunya untuk belajar menulis kepada bapak pers Indonesia, Tirto Adi Soerjo. Bagaimana kiprahnya? Kita akan simak setelah tembang berikut ini (lagu)

Kalimat Siti Soendari yang menyanggah bahwa perempuan tidak harus melulu pandai memasak disampaikan kepada beberapa orang yang risih dengan keberadaan perempuan yang mau belajar untuk kemajuannya. Siti Soendari adalah seorang perempuan yang pada masanya punya ketajaman pena, cerdas dan berani. Berulang kali, ia bahkan berurusan dengan kepolisian rahasia negara Belanda.  Tulisannya membuat berang Belanda dan membuat merah telinga para lelaki. Ia mengawali karir menulisnya di Poetri Hindia yang didirikan oleh Tirto Adi Soerjo dan R.T.A Tirtokoesoemo pada Juli 1908. Nama Siti Soendari juga muncul dalam salah satu karya Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, pada bab III bagian pertama ketika Pram berbicara tentang Poetri Hindia surat kabar perempuan bumiputera pertama yang diterbitkan Tirto Adi Soerjo.
Siti Soendari kemudian menjadi penulis dan redaktur di Wanita Swara yang terbit pada tahun 1913.  Siti Soendari sendiri adalah jurnalis perempuan didikan langsung Tirto. Selain itu, Siti Soendari juga dikenal sebagai pemimpin redaksi koran yang menggunakan bahasa Jawa dan selanjutnya pada 1914 mengeluarkan Sekar Setaman yang memakai bahasa Melayu. Bahkan, ia didaulat menjadi satu dari sembilan perempuan yang didapuk oleh komisi yang bertugas meneliti sebab kemerosotan kemakmuran penduduk Jawa dan Madura dengan menuliskan atau memetakan kebutuhan perempuan kala itu. Dalam tulisannya ia menyebut dirinya sebagai redaktris Wanita Swara. Namun, Siti Soendari bukanlah redaktur pertama koran tersebut. Ia berkisah bahwa ia seringkali menerima surat dari pelanggan wanita yang berisi permintaan yang ia sendiri tidak dapat memenuhinya, tercatat ia tak menemukan surat semacam itu di arsip lama. Ia menduga salah satu sebabnya adalah, pemimpin redaksi terdahulu adalah seorang lelaki. Siti Soendari kemudian berpikir pentingnya sebuah surat kabar khusus perempuan yang memperjuangkan hak-hak perempuan.
Luar biasa ya tokoh perempuan yang satu ini, masih muda tapi sudah menjadi redaktur sebuah koran dan merupakan koran perempuan pertama lagi. Kisahnya akan dilanjutkan setelah selingan berikut ini. (Lagu)

Masih bersama PEREMPUAN PELITA persembahan MARSINAH FM, setiap hari Kamis jam 7 hingga 9 malam. Kita lanjutkan kisah Siti Soendari, sang jurnalis perempuan pertama di Perempuan Pelita Edisi VII.
Hal yang menarik ketika Siti Soendari menjadi pemimpin redaksi adalah, ia didorong oleh para perempuan pembaca melalui surat-surat mereka yang meminta agar pemimpin redaksi mau menuliskan perihnya hati perempuan ketika dengan mudahnya lelaki menceraikan istrinya dan kebiasaan lelaki beristri lebih dari satu. Bahkan mereka meminta Siti Soendari menulis tentang persamaan hak antara perempuan dan pria. Di dalam surat mereka ini, sering kali mereka mengolok-olok lelaki sebagai buaya darat, tiran, dan egois padahal kebanyakan pelanggan adalah lelaki. Sayang perempuan tamatan KS (Sekolah rendah) ini justru membakar surat-surat kaleng yang masuk dengan pertimbangan menjaga napas surat kabar yang banyak juga dilanggani para lelaki. Hal itu ia lakukan karena ia memilih menyelamatkan majalahnya daripada memuat surat para pelanggan perempuan tersebut. Sebagai gantinya, Siti Soendari menulis laporan dengan panjang lebar ke Komisi Kemakmuran. Dari laporan tersebut, tertuang fakta adanya usulan supaya perempuan tidak dipermainkan lelaki dalam institusi perkawinan. Termasuk diantaranya adalah tentang penolakannya terhadap poligami.
Di dalam Wanita Swara, Siti Soendari menuliskan agar perempuan mau belajar membaca dan menulis. Dengan membaca, menurut Siti Soendari, perempuan bisa memahami situasi sosial yang melingkupi perempuan kala itu, yang membuat mereka sulit diajak bersekolah. Minimnya kesadaran bersekolah dari perempuan ini, tak lepas dari pelabelan masyarakat patriarki yang  melekat di alam bawah sadar para lelaki dan perempuan sebagaimana yang disampaikan orang-orang kepada Siti Soendari, bahwa perempuan meski bersekolah tinggi, tetap saja tidak akan disukai suami karena tak pandai masak nasi sayur.
Wanita Swara sendiri adalah sebuah surat kabar yang didirikan oleh Boedi Oetomo cabang Pacitan dan merupakan surat kabar perempuan permulaan  sebagai organ atau corong organisasi perempuan meski hanya sayap wanita dari sebuah organisasi. Menjadi redaktur di Wanita Swara tanpa digaji tidak menjadi persoalan bagi Siti Soendari karena ia berharap besar bahwa Wanita Swara akan benar-benar menyuarakan hak perempuan. Wanita Swara, terbit bersamaan dengan Sekar Setaman. Bagi yang berlangganan Wanita Swara, akan memperoleh juga Sekar Setaman secara gratis. Sebagai redaktur sebuah koran yang tidak bergaji, Siti Soendari tidak keberatan, bahkan dengan banyak hambatan dan tantangan seperti masih sedikitnya rakyat, terutama perempuan yang berlangganan Wanita Swara. Tentang hal ini, Maria Ulfah mengungkapkan “Entah berapa ribu lembar selebaran yang sudah kuedarkan agar kaum wanita membeli Wanita Swara. Nyatanya walaupun tahun ini sudah menyebarkan 3000 helai selebaran dengan biaya yang ia pikul sendiri, hanya 150 langganan baru datang, semuanya hanya dari golongan priyayi rendahan”
Kisah Siti Soendari belum usai, kegigihannya berjuang melalui tulisan menunjukkan bahwa perempuan juga bisa menulis tentang politik, dan hak perempuan.
Masih di PEREMPUAN PELITA Edisi VII, dengan tokoh perempuan kita Siti Soendari. Seorang perempuan muda yang gigih memperjuangkan kaumnya dan kemerdekaan bangsanya.
Minat Siti Soendari untuk menulis sudah muncul sejak masih sekolah. Tulisannya kerap mewarnai majalah dinding sekolah. Tak heran bila Siti Soendari menguasai bahasa Belanda dengan baik sehingga sering dimuat di terbitan Belanda. Selain memiliki kemampuan berbahasa Belanda, Soendari juga menguasai bahasa Inggris, Jerman dan Perancis. Namun, Siti Soendari lebih memilih menulis dengan menggunakan bahasa Melayu sekolahan yang dengan keras mengecam kolonialisme Belanda. Hingga segala aktivitasnya menjadi perhatian pemerintah Belanda waktu itu.
Sebagaimana gadis pada umumnya seperti yang dialami Kartini, Siti Soendari juga menjalani pingitan di rumahnya, di Pemalang. Namun hal itu tidak menghentikan keaktifannya menulis untuk mengecam Belanda. Tulisan – tulisan Kartini dan pertemuannya dengan Tirto Adi Soerjo dan Marco Hadikromo memicu semangatnya untuk terus menulis.
Siti Soendari sendiri merupakan anak perempuan dari seorang Pegawai Pegadaian Negeri Pemalang dan  dibesarkan oleh bapaknya–yang lulusan STOVIA —dalam lingkungan yang sadar pendidikan. Dia terlahir dengan nama Siti Soendari Ruwiyo Darmobroto, anak terakhir dari dua bersaudara. Ayahnya adalah sahabat dari Tirto Adhi Suryo.
Mengagumkan! Demikianlah kisah Siti Soendari, sang redaktur Poetri Hindia dan Wanita Swara. Apa yang telah ditunjukkan oleh Siti Soendari adalah, bahwa perempuan juga harus bisa menulis untuk memahami lingkungan sosial yang melingkupinya dan tentu saja untuk mengajak perempuan supaya memperjuangkan kesetaraan.

Selain aktif menulis, Siti Soendari juga merupakan orator ulung. Dalam novel Pramoedya Ananta Toer, dikisahkan Siti Soendari sempat memimpin rapat akbar buruh yang diadakan oleh VSTP (Serikat buruh kereta api) di Semarang. Di sana, ia berorasi tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia. Semua peserta rapat akbar terkagum-kagum dengannya, bukan hanya karena ia perempuan namun juga keunggulannya berpidato sama hebatnya dengan Soekarno.
Selain itu, Soendari adalah anggota dan juga pengurus VSTP, dia aktif dan ikut membangun cabang-cabang VSTP, terutama di Pacitan dan sekitarnya. Situasi politik pada waktu Soendari mulai terlibat dalam pergerakan memang sedang meninggi, aksi-aksi pemogokan terjadi dimana-mana, organisasi-organisasi perlawanan pribumi tumbuh, pembakaran ladang-ladang tebu, memberikan landasan obyektif mendorong kemajuan Soendari.
Seperti  pejuang-pejuang pembebasan nasional lainnya, Siti Soendaripun tak lepas dari pengamatan intelejen Belanda. Ketika sebuah rapat akbar tengah diselenggarakan oleh VSTP di saat yang bersamaan terjadi pembakaran ladang-ladang tebu oleh para petani tebu di Pemalang. Pemerintahan Belanda tidak tinggal diam, Siti Soendari menjadi tersangka utama pembakaran ladang tebu dan Siti Soendari kemudian hendak ditangkap. Namun,  dia berhasil lolos pada waktu itu karena diselamatkan oleh anggota VSTP dan bapaknya yang kemudian melarikannya ke Belanda.
Sebelumnya, Siti Soendari mengenyam pendidikan HBS di Semarang, Soendari sudah aktif dalam kegiatan keorganisasian seperti menjadi aktivis Jong Java, Pemalang Bond . Setelah lulus HBS, Soendari menjadi guru disebuah sekolah swasta di Pemalang dan tidak lama berlangsung dia pindah ke Pacitan tetap menjadi seorang guru pada salah satu sekolah dasar Budi Moeljo—sekolah yang disubsidi oleh Pemerintahan Belanda— Akhirnya Soendari dipecat oleh sekolah tersebut karena tekanan Belanda yang tidak suka dengan aktivitas politik Soendari. Ini dikarenakan kekhawatiran di kalangan para orang tua muridnya, jika anak mereka dididik oleh seorang yang dibenci dan diawasi pemerintah penjajah, maka tidak akan pernah bisa menjadi pegawai negeri di lingkungan Gubermen (pemerintah penjajah).Tanpa sepengetahuannya pemerintah Hindia Belanda meminta kepada sang bapak untuk meredam aktivitasnya karena dianggap berbahaya bagi kelangsungan pemerintahan Hindia Belanda, yakni dengan meminta sang Bapak untuk mengawinkan Siti Soendari. Dengan perkawinan, menurut Belanda akan mengakhiri aktivitas politik dan organisasi. Tetapi sekali lagi, dia menolak perkawinan atas dirinya, meski atas permintaan sang bapak sekalipun. Bagi sang ayah, ini menjadi dilema. Di satu sisi ia selalu mengajarkan Soendari sedari kecil untuk memiliki pilihannya sendiri, tapi di sisi lain ia takut dengan keselamatan Soendari dan ketakutan apabila dilepas dari jabatannya dan kehilangan kehormatannya sebagai priyayi. Kemudian sang ayahpun mencari Siti Soendari kemana-mana, dari Pacitan, Malang, Surabaya hingga akhirnya bertemu di Semarang ketika Siti Soendari sedang menjadi orator dalam rapat akbar di gedung wayang orang, Semarang.  Setelah itulah, Siti Soendari dipingit di rumahnya, di Pemalang tapi tetap bisa melakukan aktivitas menulis. Seakan tak mau mengulang tragedi Kartini, Siti Soendari memutuskan lari dari rumah dan meneruskan aktivitasnya. Hingga suatu hari ketika Belanda hendak menangkapnya, sang ayah pun bertindak cepat dengan menyelamatkan Siti Soendari dan melarikannya ke Belanda.
Demikianlah Siti Soendari pada akhirnya dilarikan ke Belanda, namun hal ikhwal tentang keberlanjutan kisahnya hingga kini belum ada data yang bisa ditemukan. Namun sebagaimana yang kita kenal, Siti Soendari adalah seorang orator ulung yang menggemparkan pemerintah Belanda. Setelah ini, kita akan dengarkan sedikit pidato Siti Soendari ketika menghadiri rapat akbar pembentukan Serikat Buruh pada tahun 1914, tentu saja setelah persembahan lagu ini. (Lagu)
                   
Pandangan-pandangan Siti Soendari tentang pentingnya organisasi sebagai alat perjuangan rakyat, akan terus terekam dalam sejarah. Berikut adalah sedikit kutipan pidato Siti Soendari ketika menghadiri rapat akbar pembentukan serikat buruh yang dimuat di Majalah Dunia Bergerak No.2 tahun 1914

Image
Sekalian saudara² tentu sudah tahu bahwa manusia itu banyak  yang tidak sama fikirannya, tabiatnya atau kelakuannya. Oleh karenitu seringkali terjadi mana² yang tidak cocok fikirannya, lalu tidak bisa setuju. Terkadang berdekatan sahaja tidak mau. Tetapi lama² jikalau hatinya yang tidak setuju itu sudah dialahkan sendiri, tentu lantas tumbuh cita kasihnya. Dan merasa bahwa tabiatnya yang demikian tadi tak baik, tidak membikin rukun malah mengadakan benih selisihan, melainkan terbawa dari kurang kesabarannya sahaja; tidak cocoknya fikiran atau pendapat itu, tidak menjadikan sebab apa-apa. Karena seumpama manusia itu hanya serupa sahaja fikirannya, malahan lebih tidak baik, sebab batu itu tidak ada yang terbuat menggosok. Sedang batu intan sekalipun bisanya bercahaja, dari gosok juga.
Oleh karena itu maka serta saya fikir-fikir orang ada di dalam perkumpulan itu boleh dimisalkan seperti seperangkat gamelan. Beda-bedanya fikiran dan tabiatnya itu seperti beda-bedanya suara satu persatunya gamelan, umpamanya: gender, gambang, rabab, kandang, dan sebagainya. Adalah orang yang banyak   bicara, itulah boleh dimisalkan gender atau cente. Ada lagi orang yang lemek bicaranya boleh diumpamakan rebab, dan ada pula orang yang pendiam itulah boleh disamakan gong, sebab bunjinya jarang² sahaja. Seandainya manusia itu sama saja fikirannya umpama suaranya gamelan melainkan kandang atau gong sahaja, sudah barang tentu tidak merdu didengarkan. Dari itu baiklah rupa-rupa suaranya tetapi yang perlu: bisanya runtut larasnya. Adapun yang meruntutkan, yaitu niyogonya. Halnya manusia itu ya niyogonya gamelan. Menjadi patutlah ia berikhtiar sendiri supaya pikirannya bisa runtut dengan pikiran orang lain. Cente jangan menyesal kepada gong bolehnya jarang-jarang berbunyi. Sebaliknya gong jangan susah hati karena dari cerewetnya cente. Yang perlu sendiri cuma runtutnya suara, sebab apabila runtut suaranya dan pandai yang memukulnya niscaja merdu didengar, bisa membikin kesenangan hati. Sebaliknya gamelan yang dipalu oleh anak-anak yang belum pandai, itulah tidak enak terdengar di telinga, dan tidak bisa menarik hati orang.
Adapun melaras runtutnya hati itu sungguh sukar sekali. Tetapi apabila dibiasakan dari sedikit, lama² bisa juga kesampaian. Kesampaiannya itu dari pada hati kemakluman. Adapun yang menjadi benih kemakluman itu, saya punya pendapat, dari cinta kepada sesamanya. Karena jikalau seorang sudah menaruh cinta kepada orang lain, biasanya seberapa saja kelakuannya yang tidak disetujuinya, tidak juga dirasanya; benci dan kekesalan hatinya hilanglah semata². Yang ada melainkan sayang atau pengharapan supaya menjadi baik. Makanya jikalau lid²nya perkumpulan apa saja semua sepakat hati, dan sama membesarkan kemakluman dan menaruh cinta kasih, sudah barang tentu perkumpulan of paguyuban itu bakal tambah menjadi besar.
Perkataan paguyuban itu asal dari guyub; yang disebut guyub itu hendaklah pakai teman. Tidak ada orang guyub bersendirian saja. Menjadi berdirinya paguyuban of perkumpulan itu pada dayanya orang² banyak   yang sama larasnya dia punya budi pekerti. Adapun lid²nya yang diwajibkan mengatur (Bestuur) itu umpamanya rumah, menjadi perkakas yang berupa kayu. Adapun lid² yang lain menjadi sebagian dari perkakas itu juga, sepertinya: tiang menjadi cagaknya blandar yang memikul atap; dinding menjadi aling². Begitu juga lidnya suatu perkumpulan, patutlah menjalani apa yang telah ditetapkan dalam anggaran atau peraturan. Jikalau tidak begitu, niscaja rusaklah perkumpulan itu. Adapun pengharapan atau kehendak orang membuat kebaikan itu tidak gampang. Seandainya gampang, tentu banyaklah barang yang baik tertimbang yang busuk.
Oleh karena itu supaya suatu perkumpulan bisa baik kejadiannya, janganlah alpa bolehnya mengerjakannya. Dari sebab yang jadi perkataannya sesuatu perkumpulan itu Bestuurnya, maka pendapat saya perlu sekali mereka itu menetapi kewajiban seperti yang tersebut di bawah ini:
  1. Hendaklah memikul kesukarannya pekerjaan yang tiada dengan upah.
  2. Ridla mengeluarkan sedikit uang yang tidak bakal dapat ganti, akan gunanya perkumpulan. Momong kepada sekalian lid.
  3. Maklum di atas beda²nya pendapatnya lid². Terima menjadi tutuhannya orang banyak.
  4. Mencari daja upaya yang bisa memajukan dan menambahkan kebajikan lid²nya.
  5. Menderita semua kesukarannya perkumpulan dengan sabar.
  6. Melayani semua kehendaknya lid² yang menuju kepada kebajikan.
  7. Tiada boleh mempunyai milik supaya dirinya sendiri terpuji, dan
  8. Tiada boleh mengharap ganjaran
Apabila belum bisa menjalani yang tersebut di atas itu semua, niscaja bakal berbantah sehari² dengan hatinya sendiri. Kemudian permohonan dan pengharapan saya, mudahmudahan sekalian saudara-saudara lid I.J.B. yang sama terpilih menjadi Bestuur, supaya bisa menjalani semua perkara yang sudah saya katakan itu.
Dan,sebagai bentuk penghargaan, Pram suatu kali pernah menuliskan dalam novelnya Rumah Kaca “ Untuk kesekian kali kuakui dia sudah sepenuhnya beremansipasi, dan, secara Barat. Ia sudah cerah. Bagiku ia wanita Pribumi hasil terindah dari awal jaman modern di Hindia”.
Naskah ini disadur dari buku “Seabad Pers Perempuan” karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Hajar Nur Setyowati
Dan Tulisan Vivi Widyawati

Perempuan hebat siapa lagi yang akan membawa pelita bagi masyarakat dan dunia? Terus ikuti mysandiwarapemuda.blogspot.contoh